WPNCL DAN NFRPB Bukan Merupakan Mewakili Mayoritas Rakyat Bangsa Papua Barat
Written By Melanesia Post on Kamis, 26 Desember 2013 | 06.09
WPNCL DAN NFRPB Bukan Merupakan Mewakili Mayoritas Rakyat Bangsa Papua Barat
Address: Wanum, West Papua. Phone: +6281344327097. Website : http://www.komnas-tpnpb.net, E-mail : office@komnas-tpnpb.net; wpnla.org@gmail.com; sekretariatpusat.tpn@gmail.com; kasumtpn@yahoo.com
WPNCL DAN NFRPB Bukan Merupakan Mewakili Mayoritas Rakyat Bangsa Papua Barat
TPN-OPM Dalam Komando Nasional Dibawah
Pimpinan Gen. Goliath Tabuni mengeluarkan pernyataan Resmi bahwa, WPNCL
dan NFRPB bukan merupakan Representative Mayoritas Rakyat Bangsa Papua
Barat. Mengapa? Karena kedua-duanya dibentuk
tanpa memperoleh dukungan Mayoritas Pemimpin dan Pejuang Papua Merdeka
serta Rakyat Bangsa Papua sendiri, baik di Dalam Negeri Papua Barat
ataupun di Luar Negeri.
Dalam hal ini, WPNCL dibentukpun dengan
dalih bahwa TPN-OPM adalah organisasi Teroris. Oleh karena TPN-OPM Dalam
Negeri Papua Barat dibawah Pimpinan Gen. Goliath Tabuni menolak tegas
atas pembentukan WPNCL dan memintah kepada Tokoh-Tokoh TPN-OPM seperti
Dr. John Otto Ondawamen, Andy Ayamyseba, Rex Rumaikewik dan Richard
Joweni, agar segera kembali ke TPN-OPM dan membangun kekuatan baru
bersama TPN-OPM Dalam Komando Nasional dibawah Pimpinan Gen. Goliath
Tabuni.
Sebab Tuan-Tuan Diplomat TPN-OPM ini
tertipu oleh permainan Jacob Rumbiak, Jonah Wenda dan Herman Wainggai,
demi memuluskan missi kepentingan NKRI. Hal ini terbukti dan telah nyata
bahwa maksud baik Tokoh-Tokoh TPN-OPM yaitu Tuan John Otto Ondawame,
Andy Ayamiseba dan Rex Rumaikewik hendak mendaftarkan Papua Barat
menjadi anggota MSG telah dihalangi oleh kepentingan Kelompok Prakarsa
WPNA, WPNCL dan NFRPB.
TPN-OPM mempunyai catatan harian, yang
mana memberikan pembuktian bahwa Tujuan Kelompok Prakarsa WPNA, WPNCL
dan NFRPB. Tujuan kelompok ini adalah menghancurkan dan
mempercerai-peraikan Kekuatan Masa Rakyat Papua yang berjuang, dimana
akhir 2006 sampi 2008 isu Papua Barat mulai mendunia serta percaya diri
massa Rakyat Asli Papua mulai bangkit. Kebangkitan ini terlihat nyata
dimana setelah Peluncuran IPWP pada 16 October 2008.
TPN-OPM menilai bahwa Kelompok Prakarsa
WPNA dan WPNCL mulai bergabung dalam Konsensus dan Kepemimpinan
Kolektif, dan kemudian merancang NFRPB dengan memanfaatkan isu tuntutan
Papua Merdeka yang mendunia ini. Istilah kasarnya, Potong Kompas atau
memanfaatkan isu perjuangan rakyat yang dipimpin oleh faksi-faksi lain.
Sememntara pejuang dan pemimpin lain
yang berjuang dengan setia, masih tetap pada posisi perjuangan mereka,
dengan memperjuangkan cita-cita luhur Rakyat Bangsa Papua Barat.
Dalih Kelompok Prakarsa WPNA, WPNCL dan NFRPB silakan memepelajari kembali dari Links Location dibawah ini:
- WPNCL Dibentuk Dengan Dalih TPN-OPM Adalah Organisasi Teroris, http://www.komnas-tpnpb.net/wpncl-dibentuk-dengan-dalih-tpn-opm-adalah-organisasi-troris.html/
- Jonah Wenda Project, http://www.komnas-tpnpb.net/jonah-wenda-project-unrepresentative.html/
- Pernyataan Resmi TPN-OPM atas Pelacuran Politik Jacob Rumbiak Kepada Pemerintah Colonial NKRI, http://www.komnas-tpnpb.net/pernyataan-resmi-tpn-opm-atas-pelacuran-politik-jacob-rumbiak-kepada-pemerintah-colonial-nkri.html/
- “Surat Terbuka TPN-OPM”2013, http://www.komnas-tpnpb.net/1219.html/
- Surat Terbuka dan Pernyataan Resmi TPN-OPM 2011, http://www.komnas-tpnpb.net/788.html
- Komentar Gen. Goliath Tabuni 2012, http://www.youtube.com/watch?v=uYUapGEmDB4
- TPN-OPM mengeluarkan Pernyataan ini berdasarkan komentarnya Jason MacLeod, yang telah dipublikasikanya pada 1 Juli 2013 dengan judul ”A Win For West Papua In Melanesia” (Kemenangan bagi Papua Barat di Melanesia), dimana menjelaskan bahwa WPNCL dan NFRPB mengklaim memperoleh Mayoritas Dukungan dari Papua Barat. Silakan mempelajari Komentar Jason Macleod pada link ini:, http://newmatilda.com/2013/07/01/win-west-papua-melanesia
Catatan:
Oleh karena itu, TPN-OPM memberitahukan
kepada semua pihak bahwa Kedua Badan Faksi Perjuangan ini bukan
merupakan Payung Nasional, dan belum mendapatkan dukungan mayoritas
Rakyat Bangsa Papua Barat, dan juga dari semua pemimpin dan Pejuang
TPN-OPM serta faksi lain seperti KNPB dan lain-lain belum sepenuhnya
memberikan dukungan.
TPN-OPM yang berjuang dengan gigi hingga
kini saja belum mengakui WPNCL dan NFRPB, karena memang kedua-duanya
bukan badan Organisasi Nasional, melainkan hanya merupakan
unrepresentative badan atau sekelompok orang yang mempromosikan diri
guna mencari popularitas masing-masing.
Ingat, TPN-OPM yang berjuang dengan gigi
melawan TNI-POLRI saja tidak mengakui dan menolak faksi-faksi yang
tidak nasional, dan dibentuk dengan dalih bahwa TPN-OPM adalah
Organisasi Teroris, termasuk Kongres Papua III yang mengatasnamakan
Rakyat oleh Kelompok Prakarsa WPNA, WPNCL, dan Melahirkan NFRPB yang
pertentangan dengan ideology dan semangat Rakyat Bangsa Papua Barat yang
telah lama berjuang dibawah Payung OPM-TPN.
Demikian, pernyataan Resmi TPN-OPM ini
dibuat di Markas Pusat dan dapat dikeluarkan dari Bagian Penerangan,
dibawah kendali Kepala Staf Umum Mayjen Teryanus Satto, berdasarkan
fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, guna menjadi perhatiann oleh
semua pihak. Terima kasih atas perhatian Anda.
Dikeluarkan Di : Markas Pusat
Pada tanggal : 8 Juli 2013
Panglima Komando Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
Organisasi Papua Merdeka
Panglima Tinggi TPNPB
ttd
Gen. Goliath N. Tabuni
NRP. 7312.00.00.00
———————————-
Lampiran:
Silakan membaca dan mempelajari komentarnya Jason MacLeod dibawah ini:
Indonesia
Kemenangan bagi Papua Barat di Melanesia
Jason MacLeod
Jalan masih panjang untuk ditempuh tapi
pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Papua Barat yang didorong pada
pertemuan regional minggu lalu merupakan sebuah terobosan. Jason MacLeod
menjelaskannya mengapa. Papua Barat baru saja memenangkan kemenangan
luar biasa di pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) di Noumea.
Ketika kepala-kepala pemerintahan dan
orang-orang terhormat dari bangsa-bangsa Melanesia berkumpul untuk
pertemuan tahunan MSG di akhir Juni, item yang paling menonjol pada
aggenda adalah keanggotaan Papua Barat. Ini adalah hasil dari kerja
selama 18 bulan oleh John Otto Ondawame, Rex Rumakiek, Andy Ajamiseba
dan Paula Makabory, kelompok yang mengkoordinir West Papua National
Coalition of Liberation (WPNCL), sebuah grup Papua Barat yang menjadi
payung organisasi perlawanan di dalam dan luar negeri.
Pada pertemuan itu, perwakilan
pemerintah Indonesia (yang baru-baru diberi status pengamat oleh MSG)
secara publik mengakui bahwa Papua Barat telah menjadi masalah
internasional. Ini sungguh-sungguh signifikan; selama berpuluh-puluh
tahun pemerintah Indonesia telah bersikeras bahwa Papua Barat adalah isu
internal. Jakarta telah berulangkali menolak semua tawaran bantuan
internasional untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.
Akan tetapi, sebagaimana dicatat oleh
delegasi Papua Barat, pemerintah Indonesia sangat sadar bahwa
anggota-anggota MSG telah secara berhasil mendukung dorongan-dorongan
pada masa lalu untuk dekolonisasi di Vanuatu, Timor Leste, Kanaky (New
Caledonia), dan sekarang Maohi Nui (Polynesia Perancis yang mencakup
Tahiti).
Dalam pernyataan resmi, Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dari Pemerintah
Indonesia, Djoko Suyanto mengundang menteri-menteri luar negeri MSG
untuk mengunjungi Indonesia untuk mengamati pembangunan secara umum,
yang juga mencakup kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan di
Papua dan Papua Barat. Menteri senior itu mengatakan bahwa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah mendukung rencana itu.
Pemerintah negara-negara Melanesia–
Papua New Guinea, Vanuatu, Fiji, Solomon Islands, dan FLNKS (Front de
Liberation Nationale Kanak et Socialiste, the National Socialist
Liberation Front for Kanaky, sebuah koalisi dari empat badan yang
pro-kemerdekaan sepertinya akan mengunjungi Indonesia dalam jangka waktu
enam bulan ke depan, bergantung pada negosiasi dengan Pemerintah
Indonesia.
Secara kolektif, bangsa-bangsa MSG dapat
mendesak agar Papua Barat dikembalikan pada daftar negara-negara yang
belum didekolonisasi, dan karenanya membuat Papua Barat menjadi
perhatian Komite Dekolonisasi PBB. Bahwa mereka telah mengundang lima
pemerintah asing untuk melihat situasi di Papua Barat menampakkan betapa
mereka khawatir.
Jika mereka berkunjung ke Papua Barat,
menteri-menteri luar negeri harus menentukan siapa yang mewakili bangsa
Papua Barat: Pemerintah Indonesia, Republik Federal Papua Barat, atau
West Papua National Coalition. MSG mesti memutuskan sendiri hal ini atas
desakan Commodore Vorenqe Bainimarama, kepala pemerintahan militer
Fiji, dengan dukungan dari Sir Michael Somare dari Papua New Guinea.
Permohonan West Papua National Coalition untuk mendapatkan status
pengamat atau anggota di MSG ditunda setelah intervensi pada menit
terakhir oleh Jacob Rumbiak, seorang Papua Barat yang berada di
pengasingan, yang mendesak bahwa mereka bukan perwakilan yang sah dari
rakyat Papua Barat.
Semua ini membuat enam bulan ke depan sungguh-sungguh menarik.
Beberapa hal bisa kita prediksi dengan
peluang yang cukup besar. Pertama, pemerintah Indonesia akan berusaha
untuk membeli pemimpin-pemimpin politik Melanesia. Dengan korupsi
endemik di banyak negara Melanesia, penegakkan hukum yang lemah, derajat
kebebasan pers yang beragam dan pertaruhan kepentingan politik dan
ekonomi, mereka mungkin berhasil. Tentu saja, orang-orang Papua tidak
akan bisa berkompetisi dengan kemurahan hati Indonesia.
Pemerintahan militer Bainimarama telah
memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Indonesia sehingga ia
tampaknya tidak akan menolaknya. Tanpa kebebasan press atau demokrasi di
Fiji, ini akan lebih sulit bagi orang-orang Fiji untuk mendesak bahwa
orang-orang Papua seharusnya hidup terbebas dari sepatu Indonesia.
Papua New Guinea cukup rentan. Sejumlah
politisi PNG, sangat kentara Sir Michael Somare, sangat berkepentingan
di pembalakan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan rantai supermarkat
dengan pemerintah Indonesia dan militer. Politisi PNG yang lain akan
cemas dengan ketidakstabilan sepanjang batas dengan Papua Barat. Militer
Indonesia telah berkali-kali melanggar batas ke teritori PNG dalam
usaha untuk mengejar orang Papua yang melanggar, termasuk aktivis
non-kekerasan yang mencari suaka. Itu dapat diupayakan sebagai dukungan
untuk demiliterisasi Papua Barat, posisi yang didukung oleh sejumlah
politisi PNG.
Kepulauan Solomon juga rentan terhadap
pengaruh Indonesia. Dari semua negara Melanesia, Kep. Solomon memiliki
kesadaran terendah akan pendudukan pemerintah Indoensia atas Papua
Barat. Mereka adalah tempat yang substansial untuk kepentingan logging
Indonesia dan Malaysia. Mengatakan semua itu, hal ini harus
diperhatikan bahwa Gordon D. Lilo, perdana menteri Kep. Solomon,
mengatakan kepada anggota West Papua National Coalition for Liberation
bahwa kasus Papua Barat adalah isu dekolonisasi yang tidak lengkap, itu
telah berlangsung terlalu lama; itu harus diselesaikan sekarang.
Pemerintah Vanuatu dan FLNKS akan lebih
kurang tanggap dengan tawaran Indonesia. Di Vanuatu tahun lalu
pemerintahnya digulingkan oleh kemarahan yang cukup besar terhadap
hubungan dekat perdana menteri saat itu, Sato Kilman, dengan pemerintah
Indonesia. Perdana menteri yang sekarang, Moana Carcases Kalosil, adalah
pendukung yang kuat terhadap kemerdekaan Papua Barat. FLNKS juga
menautkan keberuntungan politik mereka kepada nasib baik perjuangan
Papua Barat untuk referendum melalui bingkai solidaritas Melanesia.
Kita juga bisa menjamin bahwa pemerintah
Australia dan Selandia Baru akan memutar kembali mantra usang mereka
bahwa mereka mendukung keutuhan teritorial pemerintah Indonesia. Dalam
sebuah artikel pada edisi Juni The Monthly Hugh White, pakar strategi
merekomendasiakn pemerintah Australia untuk melepaskan concern apa pun
terkait dengan hak azasi manusi di Papua Barat demai kepentingan politik
dan ekonomi.
Tetapi menteri dari kedua belah pihak
Tasmania secara diam-diam mengakui bahwa pengaruh mereka terhadap
kebijakan luar negeri Indonesia telah surut. Pertemuan MSG di Noumea
secara jelas memperlihatkan betapa kebijakan luar negeri Australia dan
Selandai Baru yang tidak relevan terhadap Papua Barat telah terjadi dan
seberapa MSG telah menjadi dewasa sebagai sebuah badan politik regional.
Akan tetapi, ketegangan yang familiar
antara kelompok-kelompok perlawanan Papua Barat mencuat dalam pertemuan
di Noumena. Patahan yang menonjol, diekspose oleh sebuah artikel di The
Island Business, adalah antara West Papua National Coalition for
Liberation dan Federal Republic of West Papua, yang sama-sama mengklaim
sebagai perwakilan bangsa Papua.
Baik National Coalition dan the Federal
Republic melamar untuk menjadi anggota MSG. Perwakilan the National
Coalition menetap di Vanuatu dengan akses yang mudah ke sekretariat MSG
di Port Vila, namun kepemimpinan the Federal Republic berada di penjara,
dihukum tiga tahun penjara karena deklarasi kemerdekaan yang
bermartabat dan tanpa kekerasan pada 19 Oktober 2011. Dialog di antara
kedua kelompok ini sangat sengit.
Ketika Forkorus Yaboisembut, Presiden
dari the Federal Republic of West Papua mengetahui permohonan the
National Coalition pada awal tahun ini, ia menulis kepada Direktur
Jenderal MSG. Dalam surat itu, dengan sangat sopan Yaboisembut menarik
permohonannya, mengatakan:
Sebaliknya kami memohon agar surat ini
dipandang semata sebagai surat dukungan dari Papua Barat untuk
permohonan bagi [the National Coalition] untuk menjadi anggota MSG dan
sebagai sarana perkenalan Republik Federal Papua Barat kepada MSG untuk
tujuan-tujuan ke depan.
Ini, dan fakta bahwa untuk jangka waktu
yang pendek pada akhir 2010-2011 keduanya merupakan bagian dari struktur
pengambilan keputusan bersama, memperlihatkan bahwa kerjasama sangatlah
mungkin. Orang Papua kini memiliki waktu selama enam bulan untuk menata
rumahnya. Ini bisa jadi melibatkan koalisi politik di antara
kelompok-kelompok resistensi, seperti model yang berhasil di Timor Leste
dan Kanaky, atau penyatuan di bawah visi bersama yang serupa dengan
Piagam Kebebasan African National Congress.
Ketika menteri-menteri luar negeri dari
MSG sungguh mengunjungi Papua Barat mereka akan ditemani oleh media
internasional kemenangan bagi orang Papua yang telah lama menuntut
negara mereka dibuka untuk media asing. Kalau, di sisi lain, pemerintah
Indonesia mendesak agar jurnalist tidak diikutkan dalam kunjungan MSG,
mereka malah hanya akan menguatkan persepsi internasional bahwa mereka
sungguh-sungguh menyembunyikan sesuatu.
Bagaimana pun, orang Papua, seperti
Timor Leste sebelum mereka yang bermobilisasi ketika Paus Johanes Paulus
II berkunjung pada 1989, akan menggunakan kesempatan ini untuk
mendaftarkan teriakan mereka untuk merdeka sebanyak yang belum pernah
dilihat sebelumnya.
Seruan seperti itu boleh jadi didengar
lebih jauh daripada Papua Barat, yang telah menjadi isu politik yang
meledak di Melanesia. Ikatan antara orang Papua dan kerabat Melanesia
mereka menjadi lebih dekat daripada yang pernah ada; apa yang terjadi
jika warga PNG, Vanuatu, Fiji, Kep. Solomons dan Kanaky bangkit dan
mendesak pemimpin mereka untuk mendukung Papua Barat? Penggulingan
pemerintahan Sato Kilman di Vanuatu adalah cerita yang layak
diperhatikan.
Bagaimana negara Indonesia akan
berekasi? Sepertinya mereka akan menunjuk pada uang yang sudah mereka
limpahkan ke Papua Barat yang manfaatnya telah mengalir kepada
perusahaan transnasional dan elite-elite Papua, sementara malah
memiskinkan lebih jauh orang asli Papua. Mereka akan beralasan bahwa
Papua Barat adalah demokrasi; bahwa orang-orang Papua dipilih oleh
masyarakat mereka sendiri. Itu betul, tapi pemerintah Indonesia
menyangkal hak orang Papua untuk membentuk partai politik mereka
sendiri. Dalam kenyataan Papua Barat adalah pos terdepan kolonial yang
diatur dari Jakarta.
Tahan politik Papua memenuhi penjara,
bukti penyiksaan sistemik bocor keluar, dan mayat orang-orang Papua yang
dibunuh oleh polisi dan militer menumpuk (seperti dugaan pembunuhan 40
orang Papua di wilayah Puncak Jaya pada bulan-bulan belakangan ini).
Akhirnya, pemerintah Indonesia akan
menyebut orang-orang Papua sebagai terosisme yang menyimpang atau suatu
upaya yang dikendalikan oleh asing. Propaganda semacam ini adalah
pilihan yang terakhir dari penguasa otoritarian. Tokoh-tokoh militer
Indonesia mengatakan bahwa gerilyawan bersenjata berjumlah sedikit lebih
banyak dari 1000 pejuang purna-waktu, sebagian besar di antaranya tidak
aktif. Sebaliknya, jumlah gerakan tanpa kekerasan puluhan ribu dan
mereka berada di jalanan setiap minggu, jika tidak setiap hari. Gerakan
kemerdekaan Papua Barat adalah perlawanan berbasis pada warga tanpa
kekerasan terhadap pemerintahan Indonesia yang berkepanjangan.
Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat
ber-concern bahwa Papua Barat, seperti Timor Leste sebelumnya, akan
menjadi isu internasional. Itu sudah sangat terlambat. Papua Barat sudah
menjadi isu internasional.
Dalam enam bulan ke depan pekerjaan
Jakarta akan berupa tekanan untuk membuat Papua taat sementara berusaha
untuk meminimalisasi represi. Pekerjaan Papua adalah untuk merongrong
legitimasi pemerintah Indonesia dan menaikkan biaya politik dan ekonomi
dari okupasi itu. Pertaruhan sangat tinggi tapi potensi imbalnya juga
besar: kemerdekaan.
Jason MacLeod adalah peneliti dan
trainer di Pusat Australia untuk Studi Perdamaian dan Konflik, di
Brisbane, Australia. Ia juga seorang kandidat doktor di University of
Queensland.
Artikel ini diterjemahkan dari artikel
bahasa Inggris yang dimuat di newmatilda.com dengan izin resmi pennulis.
Jika Anda berminat membaca artikel-artikel Jason MacLeod kliki di sini.
0 komentar:
Posting Komentar